makalah tugas agama
oleh :
nama : moch.tri wahyudi
kelas : xd(10d)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
atas rahmat dankarunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas ini.Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
tugas ini masih banyak kekurangan, baik
dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu,
segalakritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan laporan
kerja praktek ini lebihlanjut, akan penulis terima dengan senang hati. Tidak
lupa penulis ucapkan terima kasihkepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan tugas ini.Akhirnya, tiada gading yang tak
retak, meskipun dalam penyusunan makalah ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis
sangat menyadari bahwahasil penyusunan makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan
data danreferensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkansaran serta kritik yang
membangun dari berbagai pihak .
Manokwari, 2012
Penulis
moch.
tri wahyudi
daftar isi
kata
pengantar ..................................................
pendahuluan
.......................................................
A. LATAR
BELAKANG .........................................
B.
BATASAN DAN MASALAH PERUMUSAN .....
C.
TUJUAN PENULISAN MAKALAH .................
bab i
Dakwah rasulullah Periode Mekah ........................
Bab ii
PENUTUP
kesimpulan dan saran
..............................................
PENDAHULUAN
I.LATAR BELAKANG
Sebagai agama yang diredhai
ALLAH SWT, islam mempunyai banyaksejarah dan cerita yang panjang
tentang perkembangannya. Salah satunyaperjalan dakwah Rasul.Masyarakat Mekkah memelihara kedudukan tata nilai
yang tinggidan istimewa karena hal semacam itu memberikan kehidupan yang makmur
danmewah. Mereka juga memperjual
belikan budak belian wanita, gemar minum-minuman keras, berjudi, berzina,serta berlomba-berlomba mencari
kedudukan.Dan hanya memikirkan kehidupan duniawi.Pada saat itu bangsa
Arab terpecah belah menjadi kabilah-kabilah yang saling membanggakan diri dengan suku masing-masing. Sering terjadipertikaian dan perperangan hanya karna masalah sepele yang berhubungandengan perebutan kekuasaan. Maka dari itu mereka tak pernah memilikikesatuan.Kaum Qurasy memandang diri mereka lebih
mulia dari bangsa Arablainnya. Jika orang Qurasy tunduk kepada nabi Muhammad
SAW itu sama artinyadengan menyerahkan kekuasaan kepada keluarga nabi Muhammad
SAW. Merekatidak akan membedakan antara kenabian dan kekuasaan.Berdasarkan permasalahan seperti yang penulis uraikan diatas,dimana Nabi Muhammad SAW
sebagai nabi akhir zaman mempunyai tanggung jawab yang besar untu memperbaiki akhlak manusia yang sangat
hancur pada saatitu. Ditengah kondisi
mayarakat yang memiliki watak yang sangat sulit dberimasukan (keras
kepala).Dengan pokok pikran diatas, penulis tertarik untuk menuangkanpikiran dengan masalah dakwah Rasul yang di aktualisasikan dalam bentukmakalah yang penulis beri judul “PERJALANAN DAKWAH
RASUL DI MEKAH”.
II.BATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1.BATASAN MASALAHDari uraian yang telah dikemukakan dalam latar
belakang diatas adabeberapa masalah yang akan dibahas. Tetapi dalam masalah ini,dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:a.PENYEBARAN ISLAM DI MEKKAHb.REAKSI KAUM QURASY TERHADAP DAKWAH RASUL
2.PERUMUSAN MASALAHBerdasarkan batasan masalah diatas dapat dirumuskan sebagaiberikut:a.apa saja yang dilakukan Rasul dalam menegakkan Islam.b.Bagaimana reaksi Kaum Qurasy terhadap dakwh yang dilakukanRasul.
III.TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk membahassecara teoritis tentang perjalanan panjang Rasul dalam menegakkan
agama Islamsebagai agama yang diredhai Allah.Kegunaan
makalah ini adalah untuk memberitahukan kepada semuaorang tentang
perjuangan Rasul untuk dapat menegakkan agama Islam, sehinggasekarang ini kita dapat mereguk nikmatnya
beribadah dijalan yang benar yaitudalam Islam.
BAB I
Dakwah rasulullah Periode Mekah
Periode
Mekah
Kehidupan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau dimuliakan oleh Allah
dengan nubuwwah dan risalah terbagi menjadi dua periode yang masing-masing
memiliki keistimewaan tersendiri secara total, yaitu:
PERIODE MEKKAH : berlangsung
selama lebih kurang 13 tahun
PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh
PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh
Dan masing-masing periode
mengalami beberapa tahapan sedangkan masing-masing tahapan memiliki
karakteristik tersendiri yang menonjolkannya dari yang lainnya. Hal itu akan
tampak jelas setelah kita melakukan penelitian secara seksama dan detail terhadap
kondisi yang dilalui oleh dakwah dalam kedua periode tersebut.
Periode Mekkah dapat dibagi
menjadi tiga tahapan:
Tahapan dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun.
Tahapan dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah.
Tahapan dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tahapan dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun.
Tahapan dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian hingga hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah.
Tahapan dakwah di luar Mekkah dan penyebarannya di kalangan penduduknya; dari penghujung tahun ke-sepuluh kenabian-dimana juga mencakup Periode Madinah- dan berlangsung hingga akhir hayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapun mengenai
tahapan-tahapan Periode Madinah maka rincian pembahasannya akan diketengahkan
pada tempatnya nanti.
DIBAWAH
NAUNGAN KENABIAN DAN KERASULAN
Di
Gua Hira’
Setelah melalui perenungan
yang lama dan telah terjadi jurang pemisah antara pemikiran Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaumnya, beliau nampak lebih menggandrungi
untuk mengasingkan diri. Hal ini terjadi tatkala beliau menginjak usia 40
tahun; beliau membawa roti dari gandum dan bekal air ke gua Hira’ yang terletak
di jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Gua ini merupakan gua
yang indah, panjangnya 4 hasta, lebarnya 1,75 hasta dengan ukuran zira’
al-Hadid (hasta ukuran besi).
Di dalam gua tersebut,
beliau berpuasa bulan Ramadhan, memberi makan orang-orang miskin yang
mengunjunginya. Beliau menghabiskan waktunya dalam beribadah dan berfikir
mengenai pemandangan alam di sekitarnya dan adanya kekuasaan dalam menciptakan
dibalik itu. Kaumnya yang masih menganut ‘aqidah yang amburadul dan cara
pandang yang rapuh membuatnya tidak tenang akan tetapi beliau tidak memiliki
jalan yang jelas, manhaj yang terprogram serta cara yang terarah yang
membuatnya tenang dan setuju dengannya.
Pilihan mengasingkan diri
(‘uzlah) yang diambil oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan
bagian dari tadbir (aturan) Allah terhadapnya. Juga, agar terputusnya
hubungannya dengan kesibukan-kesibukan di muka bumi, gemerlap hidup dan
nestapa-nestapa kecil yang mengusik kehidupan manusia menjadi noktah perubahan
dalam mempersiapkan diri menghadapi urusan besar yang sudah menantinya sehingga
siap mengemban amanah kubro, merubah wajah bumi dan meluruskan garis sejarah.
‘Uzlah yang sudah ditadbir oleh Allah ini terjadi tiga tahun sebelum beliau
ditaklif dengan risalah. Beliau mengambil jalan ‘uzlah ini selama sebulan
dengan semangat wujud yang bebas dan mentadabburi kehidupan ghaib yang
tersembunyi dibalik wujud tersebut hingga tiba waktunya untuk berinteraksi dengan
kehidupan ghaib ini saat Allah memperkenankannya.
Jibril
‘alaihissalam turun membawa wahyu
Tatkala usia beliau mencapai
genap empat puluh tahun- yaitu usia yang melambangkan kematangan, dan ada
riwayat yang menyatakan bahwa diusia inilah para Rasul diutus – tanda-tanda
nubuwwah (kenabian) sudah tampak dan mengemuka, diantaranya; adanya sebuah batu
di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau, terjadinya ar-Ru’ya
–ash-Shadiqah- (mimpi yang benar) yang datang berupa fajar subuh yang
menyingsing. Hal ini berlangsung hingga enam bulan –masa kenabian berlangsung
selama dua puluh tiga tahun- dan ar-Ru’ya ash-Shadiqah ini merupakan bagian
dari empat puluh enam tanda kenabian. Ketika memasuki tahun ketiga dari
pengasingan dirinya (‘uzlah) di gua Hira’, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah
menghendaki rahmatNya dilimpahkan kepada penduduk bumi dengan memberikan
kemuliaan kepada beliau, berupa pengangkatan sebagai Nabi dan menurunkan Jibril
kepadanya dengan membawa beberapa ayat al-Qur’an.
Setelah melalui pengamatan
dan perenungan terhadap beberapa bukti-bukti dan tanda-tanda akurat, kami dapat
menentukan persisnya pengangkatan tersebut, yaitu hari Senin, tanggal 21 malam
bulan Ramadhan dan bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M. Tepatnya
usia beliau saat itu empat puluh tahun enam bulan dua belas hari menurut
penanggalan qamariyyah (berdasarkan peredaran bulan; hijriyyah) dan sekitar
tiga puluh sembilan tahun tiga bulan dua puluh hari; ini menurut penanggalan
syamsiyyah (berdasarkan peredaran matahari; masehi).
Mari kita dengar sendiri
‘Aisyah ash-Shiddiqah radhiallâhu ‘anha menuturkan kisahnya kepada kita
mengenai peristiwa yang merupakan noktah permulaan nubuwwah tersebut dan yang
mulai membuka tabir-tabir gelapnya kekufuran dan kesesatan sehingga dapat mengubah
alur kehidupan dan meluruskan garis sejarah; ‘Aisyah radhiallâhu ‘anha berkata:
“Wahyu yang mula pertama dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah berupa ar-Ru’ya ash-Shalihah (mimpi yang benar) dalam tidur dan ar-Ru’ya
itu hanya berbentuk fajar shubuh yang menyingsing, kemudian beliau lebih
menyenangi penyendirian dan melakukannya di gua Hira’; beribadah di dalamnya
beberapa malam sebelum dia kembali ke rumah keluarganya.
Dalam melakukan itu, beliau
mengambil bekal kemudian kembali ke Khadijah mengambil perbekalan yang sama
hingga datang kebenaran kepadanya; yaitu saat beliau berada di gua Hira’
tersebut, seorang malaikat datang menghampiri sembari berkata: “bacalah!”, lalu
aku menjawab (ini adalah jawaban Rasulullah sendiri yang sepertinya oleh
pengarang buku ini dinukil langsung dari naskah asli haditsnya-red): “aku tidak
bisa membaca!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur lagi: “kemudian
dia memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga, lalu setelah itu
melepaskanku sembari berkata: “bacalah!”. Aku tetap menjawab: “aku tidak bisa
membaca!”.
Lalu dia untuk kedua
kalinya, memegang dan merengkuhku hingga aku kehabisan bertenaga kemudian
melepaskanku seraya berkata lagi: “bacalah!”. Lalu aku tetap menjawab: “aku
tidak bisa membaca!”. Kemudian dia melakukan hal yang sama untuk ketiga
kalinya, sembari berkata: “bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Rabb-mu lah Yang Paling Pemurah”. (Q.S. al-’Alaq: 1-3). Rasulullah pulang
dengan merekam bacaan tersebut dalam kondisi hati yang bergetar, dan menemui
Khadijah binti Khuwailid sembari berucap: “selimuti aku! Selimuti aku!”. Beliau
pun diselimuti hingga rasa ketakutannya hilang.
Beliau bertanya kepada
Khadijah: “apa yang terjadi terhadapku ini?”. Lantas beliau menceritakan
pengalamannya, dan berkata: “aku amat khawatir terhadap diriku!”. Khadijah
berkata: “sekali-kali tidak akan! Demi Allah! Dia Ta’ala tidak akan
menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali rahim, pemikul
beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu
tamu serta penolong setiap upaya menegakkan kebenaran”. Kemudian Khadijah
berangkat bersama beliau untuk menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul
‘Uzza, anak paman Khadijah (sepupunya). Dia (anak pamannya tersebut) adalah
seorang yang menganut agama Nashrani pada masa Jahiliyyah, dia bisa menulis
dengan tulisan ‘Ibrani dan sempat menulis dari injil beberapa tulisan yang
mampu ia tulis –sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah- dengan tulisan
‘Ibrani. Dia juga, seorang yang sudah tua renta dan buta; ketika itu Khadijah
berkata kepadanya: “wahai anak pamanku! Dengarkanlah (cerita) dari anak
saudaramu!”. Waraqah berkata: “wahai anak laki-laki saudara (laki-laki)-ku! Apa
yang engkau lihat?”.
Lalu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam membeberkan pengalaman yang sudah dilihatnya. Waraqah berkata
kepadanya: “sesungguhnya inilah sebagaimana ajaran yang diturunkan kepada Nabi
Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda ketika itu nanti! Andai saja aku
masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepadanya: “benarkah mereka akan mengusirku?”. Dia menjawab:
“ya! Tidak seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa melainkan akan
dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya aku akan membantumu
dengan sekuat tenaga”. Kemudian tak berapa lama dari itu Waraqah meninggal
dunia dan wahyu pun terputus (mengalami masa stagnan).
Masa
Stagnan Turunnya Wahyu
Mengenai hal ini,
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abbas yang intinya
menyatakan bahwa masa stagnan itu berlangsung selama beberapa hari; pendapat
inilah yang rajih/kuat bahkan setelah melalui penelitian dari segala aspeknya
secara terfokus harus menjadi acuan. Adapun riwayat yang berkembang bahwa hal
itu berlangsung selama tiga tahun atau dua tahun setengah tidaklah shahih sama
sekali, namun disini bukan pada tempatnya untuk membantah hal itu secara
detail.
Pada masa stagnan tersebut,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dirundung kesedihan yang mendalam yang
diselimuti oleh rasa kebingungan dan panik.
Dalam kitab “at-Ta’bir”,
Imam Bukhari meriwayatkan naskah sebagai berikut: “menurut berita yang sampai
kepada kami, wahyupun mengalami stagnan hingga membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam sedih dan berkali-kali berlarian agar dia dapat terjerembab ke ujung
jurang-jurang gunung, namun setiap beliau mencapai puncak gunung untuk
mencampakkan dirinya, malaikat Jibril menampakkan wujudnya sembari berkata:
“wahai Muhammad! Sesungguhnya engkau sebenar-benar utusan Allah!”. Spirit ini
dapat menenangkan dan memantapkan kembali jiwa beliau. Lalu pulanglah beliau ke
rumah, namun manakala masa stagnan itu masih terus berlanjut beliaupun
mengulangi tindakan sebagaimana sebelumnya; dan ketika dia mencapai puncak
gunung, malaikat Jibril menampakkan wujudnya dan berkata kepadanya seperti
sebelumnya (memberi spirit kepada beliau-red)”.
Jibril
‘alaihissalam Turun Kembali Membawa Wahyu
Ibnu Hajar berkata: “Masa
stagnan itu sungguh telah menghilangkan ketakutan yang telah dialami oleh
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan membuatnya bersemangat untuk kembali
mengalaminya. Dan ketika hal ini benar terjadi dan beliau mulai menanti-nanti
datangnya wahyu, maka datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk kedua
kalinya.
Imam Bukhari meriwayatkan
dari Jabir bin ‘Abdullah bahwasanya dia mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam menceritakan tentang masa stagnan itu, beliau bercerita:
“Ketika aku tengah berjalan-jalan, tiba-tiba aku mendengar suara yang berasal
dari langit, lalu aku mendongakkan pandangan ke arah langit, ternyata malaikat
yang dulu mendatangiku ketika di gua Hira’ duduk diatas kursi antara langit dan
bumi. Melihat hal itu aku terkejut hingga aku tersungkur ke bumi. Kemudian aku
mendatangi keluargaku sembari berkata: ‘selimutilah aku! Selimutilah aku!’.
Lantas mereka menyelimutiku, baru kemudian Allah menurunkah surat
al-Muddatstsir;yaitu dari firmanNya; yaa ayyuhal muddatstsir….hingga firmanNya:
…fahjur’. (Q.S. al-Muddatstsir: 1-5).
Setelah itu wahyu tetap
terjaga dan datang secara teratur”. Dalam hadits yang shahih: ” Aku tinggal di
dekat gua Hira’ selama sebulan; tatkala aku sudah selesai melakukan itu, maka
aku turun gunung. Dan ketika aku sampai ke sebuah lembah dan aku dipanggil oleh
seseorang…”. Kemudian (teks hadits selanjutnya-red) beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam menyebutkan (cerita) sebagaimana yang telah dikemukakan diatas yang
intinya; bahwa ayat tersebut turun setelah sempurnanya beliau menyertai bulan
Ramadhan dan dengan begitu, artinya masa stagnan antara dua wahyu tersebut
berlangsung selama sepuluh hari sebab beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
sempat lagi menyertai Ramadhan berikutnya setelah turunnya wahyu pertama.
Ayat-ayat tersebut merupakan
permulaan dari masa kerasulan (risalah) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
alias datang setelah masa kenabian (nubuwwah) yang berjarak selama masa stagnan
turunnya wahyu. Ayat-ayat tersebut mengandung dua jenis taklif (pembebanan
syara’) beserta penjelasan konsekuensinya.
Jenis pertama adalah
mentaklif beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penyampaian (al-Balagh)
dan peringatan (at-Tahzir) saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2); makna ayat ini
adalah agar beliau memperingatkan manusia akan azab Allah atas mereka jika
mereka tidak bertaubat dari dosa, kesesatan, beribadah kepada selain Allah Yang
Maha Tinggi serta berbuat syirik kepadaNya dalam zat, sifat-sifat, hak-hak dan
perbuatan-perbuatan.
Jenis kedua adalah mentaklif
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penerapan perintah-perintah Allah
Ta’ala terhadap zatNya dan komitmen terhadapnya dalam jiwa beliau agar
mendapatkan keridhaan Allah dan menjadi suri teladan yang baik bagi orang yang
beriman kepada Allah. Hal ini tercermin pada ayat-ayat berikutnya. FirmanNya
Ta’ala: “dan Rabb-mu agungkanlah!”(al-Muddatstsir: 3); maknanya adalah
khususkanlah Dia Ta’ala dengan pengagungan dan janganlah menyekutukanNya dengan
seseorangpun.
Dan firmanNya: “dan
pakaianmu bersihkanlah!” (al-Muddatstsir:4); makna lahiriyahnya adalah
menyucikan/membersihkan pakaian dan jasad sebab tidaklah layak bagi orang yang
mengagungkan Allah dan menghadapNya dalam kondisi dilumuri oleh najis dan
kotor. Jika saja kesucian/kebersihan ini dituntut untuk dilakukan maka
kesucian/kebersihan diri dari virus-virus syirik, pekerjaan dan akhlak yang
hina tentunya lebih utama untuk dituntut.
Dan firmanNya: “dan
perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah!” (al-Muddatstsir:5) ;
maknanya adalah jauhkanlah dari sebab-sebab turunnya kemurkaan Allah dan
azabNya, dan hal ini direalisasikan melalui komitmen untuk ta’at kepadaNya dan
meninggalkan maksiat.
Sedangkan firmanNya: “dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!”
(al-Muddatstsir: 6); yakni janganlah kamu berbuat baik dengan menginginkan upah
dari manusia atasnya atau balasan yang lebih utama di dunia ini.
Adapun makna ayat terakhir
(yang diturunkan saat itu kepada beliau-red); didalamnya terdapat peringatan
akan adanya gangguan dari kaumnya ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
berbeda agama dengan mereka, mengajak mereka kepada Allah semata dan
memperingatkan mereka akan azab dan siksaanNya; yaitu dalam firmanNya: “dan
untuk memenuhi (perintah Rabb-mu) bersabarlah!” (al-Muddatstsir: 7).
Permulaan ayat-ayat tersebut
(surat al-Muddatstsir) berbicara tentang panggilan langit nan agung –terekam
dalam suara Yang Maha Besar dan Maha Tinggi– yang mengajurkan agar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan urusan yang mulia ini dan
memerintahkannya agar mengenyahkan tidur, selimut dan berhangat-hangat guna
menyongsong panggilan jihad, berjuang dan menempuh jalan penuh ranjau; ini
tergambar dalam firmanNya: “Hai orang yang berselimut! bangunlah! Lalu berilah
peringatan” (Surat al-Muddatstsir:2) .
Seakan-akan dikatakan
(kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam): sesungguhnya orang yang hanya
hidup untuk kepentingan dirinya saja, bisa saja hidup tenang dan nyaman
sedangkan engkau yang memikul beban yang besar ini; apa gunanya tidur bagimu?
Apa gunanya istirahat/refreshing bagimu? Apa gunanya permadani yang hangat
bagimu? Apa gunanya hidup yang tenang bagimu? Apa gunanya kesenangan yang
membuaikan bagimu? Bangunlah untuk melakukan urusan maha penting yang
menunggumu dan beban berat yang disediakan untukmu! Bangunlah untuk berjuang,
bergiat-giat, bekerja keras dan berletih-letih! Bangunlah! Karena waktu tidur
dan istirahat sudah berlalu, dan tidak akan kembali lagi sejak hari ini; yang
ada hanyalah mata yang meronda secara kontinyu, jihad yang panjang dan
melelahkan. Bangunlah! Persiapkan diri menyambut urusan ini dan bersiagalah!.
Sungguh ini merupakan ucapan
agung dan kharismatik yang (seakan) melucuti beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam dari kehangatan permadani di suatu rumah yang nyaman dan pelukan yang
suam untuk kemudian melemparkannya keluar menuju samudera luas yang diselimuti
oleh deru ombak dan hujan yang mengguyur, (dan samudera) dimana terjadi tarik
menarik yang membuat posisinya di hati manusia dan realitas hidup sama saja.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam telah bangun dan tetap bangun setelah perintah itu selama
lebih dari dua puluh tahun; tidak pernah beristirahat dan tidak pula hanya
hidup untuk kepentingan dirinya dan keluarganya. Bangun dan tetap bangun diatas
pondasi dakwah kepada Allah, mengembankan di pundaknya beban yang amat berat
namun beliau tidak menganggapnya berat; beban amanah kubro di muka bumi ini,
beban manusia secara keseluruhan, beban ‘aqidah secara keseluruhan, beban
perjuangan dan jihad di medan-medan yang berbeda. Beliau hidup menghadapi
pertempuran yang kontinyu selama lebih dari dua puluh tahun. Selama tenggang
waktu ini, tidak satupun hal yang dapat membuatnya lengah, yaitu sejak beliau
mendengar panggilan langit nan agung yang menyerahkan taklif yang begitu
dahsyat untuk diembannya… semoga Allah membalas jasa beliau terhadap manusia
secara keseluruhan dengan sebaik-baik imbalan.
Sekilas
ulasan tentang urutan kronologi turunnya wahyu
Sebelum beranjak ke
penjelasan detail mengenai kehidupan di bawah naungan risalah dan nubuwwah,
kami melihat perlu kita mengetahui urutan kronologi turunnya wahyu yang
merupakan sumber risalah dan tinta dakwah. Ibnu al-Qayyim berkata, ketika
menyinggung urutan kronologi turunnya wahyu tersebut:
Pertama, berupa ar-Ru’ya
ash-Shaadiqah (mimpi yang benar); ini merupakan permulaan turunnya wahyu kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua, berupa sesuatu yang
ditimbulkan oleh malaikat terhadap rau’ (hati yang ketakutan, akal) dan hatinya
tanpa dapat melihatnya; hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam : “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril ‘alaihissalam)
menghembuskan ke dalam hatiku (yang diliputi ketakutan) bahwasanya jiwa tidak
akan mati hingga disempurnakan rizki baginya. Oleh karena itu, bertakwalah
kalian kepada Allah, berindah-indahlah dalam meminta serta janganlah
keterlambatan rizki atas kalian mendorong kalian untuk memintanya dengan cara
melakukan perbuatan maksiat kepadaNya, karena sesungguhnya apa yang ada disisi
Allah tidak akan didapat kecuali dengan berbuat ta’at kepadaNya”.
Ketiga, berupa malaikat yang
berwujud seorang laki-laki; lantas dia mengajak beliau berbicara hingga
mengingat dengan jelas apa yang dikatakan kepadanya. Dalam urutan ini,
terkadang para shahabat melihat malaikat tersebut.
Keempat, berupa bunyi
gemerincing lonceng yang datang kepada beliau; peristiwa ini merupakan
pengalaman yang paling berat bagi beliau dimana malaikat memakai cara ini
hingga membuat keningnya mengerut bersimbah peluh. Ini terjadi di hari yang
amat dingin. Demikian pula, mengakibatkan onta beliau duduk bersimpuh ke bumi
bila beliau menungganginya. Dan pernah juga wahyu datang seperti kondisi
tersebut dan saat itu paha beliau ditaruh diatas paha Zaid bin Tsabit yang
seketika dirasakan olehnya (Zaid) demikian berat sehingga hampir saja remuk.
Kelima, berupa malaikat
dalam bentuk aslinya yang dilihat langsung oleh beliau, lalu diwahyukan kepada
beliau beberapa wahyu yang dikehendaki oleh Allah; peristiwa seperti ini
dialami oleh beliau sebanyak dua kali sebagaimana disebutkan oleh Allah dalam
surat an-Najm.
Keenam, berupa wahyu yang
diwahyukan kepada beliau; yaitu saat beliau berada diatas lelangit pada malam mi’raj
, diantaranya ketika diwajibkannya shalat dan lainnya.
Ketujuh, berupa Kalamullah
kepada beliau (dariNya kepadanya) tanpa perantaraan malaikat sebagaimana Allah
berbicara kepada Musa bin ‘Imran; peristiwa seperti ini terjadi dan diabadikan
secara qath’i berdasarkan nash al-Qur’an. Sedangkan terhadap Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam terjadi dalam hadits yang berbicara tentang Isra’.
Sebagian para ulama menambah
urutannya menjadi delapan, yaitu; Allah berbicara kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam secara langsung tanpa hijab; ini merupakan permasalahan yang
diperdebatkan oleh ulama Salaf dan Khalaf. Demikian, sebagaimana yang
dituturkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan sedikit diringkas dalam penjelasan
tentang urutan pertama dan kedelapan. Pendapat yang benar, bahwa urutan
terakhir ini (kedelapan) tidak tsabit (valid dan dipercaya keabsahan
riwayatnya-red).
PENUTUP
kesimpulan dan saran
PENUTUP
I.KESIMPULAN
Dakwah
RAsul di periode Mekkah meninggalkan beberapa Hikmah, yaitu :“agar
kita semua menghargai dan meneladani sikap Rasullullah yangtabah dalam
menyiarkan agama Islam dalam kondisi sesulit apapun.Meskipun mengalami banyak cobaan, tapi Muhammad SAW tetapmenegakkan
agama ALLah”
II.SARAN
Kepada pembaca, penulis mempunyai beberapa saran. Untukmenghargai semua
perjuangan Nabi Muhammad SAW dan benar-benar mencintaiislam yang telah kita
nikmati sekarang ini. Dengan beribadah dan tidak melakukanhal-hal yang dilarang
dalam Islam.
Daftar pustaka
MUSLIMEIYUDI.BLOGSPOT.COM